“Dan sempurnakan haji dan umroh karena Allah.” ( Al-Baqarah: 196)
Pada abad ke 13 Masehi ada ahli
tafsir keturunan Anshor dari suku Khazraj bernama Syamsuddin yang lebih dikenal
sebagai Al-Qurthuby di Cordova Sepanyol menulis kitab tafsir Al-Jami’ul Ahkamil
Qur’an. Di dalamnya dia menguraikan bahwa
paling tidak ada tujuh masalah yang diperselisihkan ulama tentang tafsir ayat Al-Baqoroh:196
di atas.
Yang pertama tentang maksud bunyi
ayat “wa-atimmu”, sempurnakanlah. Apa yang harus disempurnakan. Sebagian
berpendapat bahwa yang dimaksud sempurna ialah melaksanakan haji dan umroh
keduanya. Artinya umroh sama wajibnya dengan haji. Keduanya wajib dilaksanakan
bagi mereka yang mampu. Yang berpendapat begini termasuk para sahabat yakni Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnul Mundzar. Juga para tabi’iin
seperti Atho, Thowus, Mujahid, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair. Juga sebagian
pengikut madzhab Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
Dalam hadist riwayat Daruquthny, Ibnu Sirin mengatakan bahwa boleh saja mana
yang didahulukan, umroh atau haji. Sedangkan pendapat yang lain berdalil bahwa
yang wajib tetap haji, umroh hukumnya sunnah. Sesuai dengan berbagai hadist
Nabi tentang lima rukun Islam dan sesuai surat Ali-Imran : 97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Dan atas manusia ada kewajiban berhaji ke
baitullah bagi mereka yang mampu perjalanannya.”
Dengan begitu yang disuruh sempurnakan
adalah pelaksanaan masing-masing manasik haji dan umroh sesuai syariah petunjuk
Allah dan Rasul-Nya. Diawali dengan menyempurnakan niat. Tradisi pelaksanaan
haji di zaman Arab Jahiliyah hanyalah dengan niat berkumpul, pertemuan,
bermusyawarah dan berbisnis di pasar-pasar pada musim haji. Maka pada ayat di atas
Allah mememerintahkan meluruskan niat haji untuk Allah semata-mata. Walaupun
masih dimaafkan ketika melaksanakannya sambil berdagang. Disebutkan bahwa
berniat lalu bertalbiyah: “Labbaik Allahumma Labbaik” itulah yang dimaksud
menyempurnakan haji dan umroh. Walaupun dalam lafadz talbiyah diucapkan “ La
syarika laka”, tidak ada sekutu bagi-Mu, artinya niat umroh dan haji untuk Allah saja, bertalbiyah
tanpa niat akan membatalkan ibadah itu.
Umar bin Khattab dan Ibnu Khubaib
berpendapat bahwa maksud sempurnakan di ayat tadi adalah haji ifrad bukan
tamattu’ atau qiran. Lalu ada permasalahan lokasi awal berihram. Sebagian
berpendapat ihram harus diawali di miqat yang ditetapkan oleh Rasulullah saw,
yakni Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah, Juhfah untuk penduduk Syam, Yalamlam
bagi penduduk Yaman, Qarnul Manazil bagi penduduk Nejd. Juga bagi siapa yang
melewatinya. Selain itu disebut juga Dzatu ‘Irq bagi penduduk Iraq. Namun ada
yang menarik diungkap oleh Al-Qurthuby bahwa Umar bin Khattab pernah melakukan
ihram dari Jerusalem yang saat itu disebut Iliya. Lalu dalam hadist riwayat
Daruquthny Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَحْرَمَ
مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ كَانَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ َلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berihram dari
Baitul Maqdis untuk haji atau umroh maka dia bersih dari dosa bagaikan di hari
dia dilahirkan ibunya.”
Itu dijadikan dasar tentang
dibolehkannya berihram sebelum miqat, sehingga Aswad, Abdurrahman, Abu Ishaq
berihram dari rumah mereka. Imam Syafii memberi keringanan untuk itu, tetapi
Imam Malik memakruhkannya. Mereka yang memakruhkan berdalil bahwa Nabi Muhammad
saw berihram dari miqat, dan itu dianggap lebih meringankan bagi umat. Bahwa beliau
lebih menyukai yang lebih ringan bagi umatnya.
Kemudian ada permasalahan niat umroh dan
haji setelah melewati batas miqat. Ada tiga kasus. Kesatu: anak-anak yang
tiba-tiba mengalami baligh, mimpi basah, sehingga menjadi muslim mukallaf
ketika tanggal 9 Dzulhijjah berada di Arafah. Apakah dia harus mengulang
berihram balik ke miqat, atau lanjut saja berniat haji. Kedua tentang budak
yang dimerdekakan oleh majikannya ketika berada di Arafah. Apakah harus
mengulang berniat dan berihram dari miqat atau lanjut dari tempat itu saja.
Yang ketiga tentang seorang kafir yang masuk Islam ketika sudah berada di
Arafah, apakah harus kembali ke miqat memulai niat dan ihramnya. Al-Qurthuby
cenderung menetapkan status mereka sebagai penduduk Mekkah, yakni : “hatta
ahli Makkah minal Makkah”, sehingga mereka tidak perlu keluar lagi ke batas
miqat, tapi langsung berniat haji.
Ternyata dari satu kitab tafsir yang sudah
berusia 800 tahun saja kita bisa temukan
keanekaragaman pendapat dalam pembahasan satu ayat tentang masalah
ibadah haji dan umroh. Itu melambangkan luasnya ranah keilmuan agama Islam. Islam
adalah agama yang lapang, jadi jangan dipersempit. Setiap perkembangan zaman
membuka peluang pemahaman baru secara relevan. Tentunya dengan mengikuti
serangkaian metoda ijtihad yang benar.
Adapun saat ini barangkali bisa direnungkan
makna baru yang relevan dari ayat al-Baqarah: 196 di atas. Bahwa kita ber-haji
dan umroh harus semata-mata karena Allah saja. Begini: Ibadah haji dan umroh harus dilaksanakan di
Mekkah, tidak bisa di lokasi lain. Sedangkan sepanjang perjalanan sejarah
selama 15 abad, Mekkah berganti-ganti dikuasai oleh beberapa penguasa. Pernah
di bawah pemerintahan suku Quraisy yang masih jahiliyah. Toh Nabi Muhammad saw bersama
kaum muslimin tetap berangkat dari Madinah untuk berumroh ke wilayah orang
musyrik. Bertawaf 7 kali mengelilingi Ka’bah yang penuh patung berhala. Ber-
sa’iy 7 kali melintasi patung berhala.
Lalu Mekkah pernah di bawah kekuasaan
khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Lalu di bawah gubernur Abdullah bin
Zubair. Lalu di bawah dinasti Muawiyah. Lalu di bawah kekuasaan kekhalifahan
dinasti Turki Utsmani. Lalu didirikan
kerajaan Saudi Arabia yang ketat melaksanakan Syariah. Dan sekarang di bawah
komando putera mahkota Muhammad bin Salman yang meluncurkan liberalisasi di segala
bidang guna mencapai Visi 2030 Saudi yang modern. Walaupun kita tidak suka
dengan politik kebijakan penguasa Mekkah yang sedang berjalan. Walaupun kita
tidak suka kebijakan mereka membolehkan turis asing membuka aurat di tempat
wisata.
Walaupun kita tidak setuju mereka mengizinkan sepasang turis asing
bukan murim menginap se kamar di hotel. Walaupun mereka mulai menyelenggarakan
pagelaran fashion wanita dan membuka jaringan bioskop di seluruh negeri. Walaupun
kita tidak suka persekutuan mereka dengan Amerika Serikat, Israel dan Cina.
Kita tidak boleh memboikot lalu berhenti melaksanakan haji dan umroh. Kita diingatkan oleh ayat al-Baqarah 196 di atas,
bahwa kita berhaji dan umroh adalah karena Allah saja. Kita tidak peduli arah
politik penguasa Mekkah. Jadi dalam beribadah kita sama sekali tidak ada
ketergantungan kepada penguasa dunia. Wallahu a’lam. (BP)