Allah swt berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ
١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ
مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ
جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok
untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al
Anfal: 15-16)
Bagaimana Islam memandang
"Bela Negara" itu? Adakah konsep Islam tentang Bela Negara? Bela
Negara dalam pandangan Islam dijelaskan secara eksplisit maupun implisit, baik
dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Salah satu istilah yang digunakan Islam terhadap
"Bela Negara" diantaranya melalui konsep hubbul wathan (cinta tanah
air).
Islam adalah agama yang
lengkap-komprehensif. Segala ajaran, arahan, dan larangannya merangkum segala
aspek kehidupan manusia. Termasuk didalamnya terdapat konsep mengenai bela
negara. Banyak orang mengira bahwa konsep bela negara bertentangan
dengan Islam yang
mengharuskan berukhuwah
antar sesama muslim tanpa ada sekat negara.
Bela negara merupakan salah satu
perwujudan berukhuwah
dalam Islam, yakni ukhuwah
wathaniyah yang berarti mencintai dan bersaudara dengan yang se bangsa
dan se tanah air.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bagaimana
Nabi Ibrahim as mendoakan negeri yang ia tinggali (Makkah) agar aman dan
makmur. "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian...". (QS: Al-Baqarah:126).
Juga dalam ayat lain: "Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
(Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS: Ibrahim: 35).
Kecintaan terhadap tanah air ini juga
terekam dalam hadits Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
beliau bersabda: “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau
merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku,
niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw
juga menyebutkan bagaimana beliau menggambarkan kecintaannya terhadap negeri
Madinah yang didiami selama 10 tahun berdakwah menyebarkan risalah Islam: "Ya
Allah, cintakanlah kami kepada Madinah sebagaimana cinta kami kepada Makkah
atau bahkan melebihi. Jadikanlah ia (Madinah) kota yang sehat dan berkahilah
mud (takaran) dan sha’nya. Dan pindahlah panasnya lalu jadikanlah di daerah
Juhfah." (HR. Imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lainnya).
Dasar Al-Quran dan Hadits tersebut
sangat jelas bahwa konsep Bela Negara benar-benar ada dalam Islam. Meski
sebagian kelompok menolak konsep itu dikaitkan dengan politik Islam, namun
dalam catatan sejarah, nilai-nilai itu dipraktekkan. Pengalaman-pengalaman
selama pemerintahan yang dipimpin tokoh Islam selalu menyisakan kisah-kisah
heroik tentang bagaimana muslim mencintai negaranya dalam banyak ekspresi.
Salah satu implementasi "cinta
tanah air" dalam Islam diwujudkan dalam bentuk perintah untuk taat kepada
Ulil Amri (pemerintah yang sah). Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri
di antara kamu.” (Qs. al-Nisa: 59).
Namun, ketaatan kepada Ulil
Amri dibatasi selama para pemimpinnya tidak memerintahkan untuk melakukan
kemaksiatan atau perbuatan yang melanggar hukum-hukum Allah. Tujuan dari
kewajiban taat kepada Ulil Amri sangat jelas, yaitu untuk mewujudkan kebaikan,
ketentraman, harmoni sosial, kesejahteraan, keadilan sosial, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa "Bela Negara" dalam Islam hanya terjadi jika
Negara menyerukan terhadap kebaikan. Dengan demikian, tujuan "Bela
Negara" semata-mata untuk menciptakan kebaikan bagi semua dan mencegah
dosa serta keburukan (madlarat) yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dalam konteks bangsa dan negara kita,
pelaksanaan "Bela Negara" dapat dilakukan oleh siapapun, dan dalam
kondisi apapun. "Bela Negara" tidak hanya berhenti pada perjuangan
fisik (memanggul senjata), namun juga bisa dilakukan dalam bentuk amal-amal
baik yang bermanfaat.
Perdebatan soal kecintaan tanah air
belakangan ini semakin menghangat, terutama kasus Natuna yang diklaim oleh Cina
sebagai bagian dari wilayahnya. Maka untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, kita
yang mengaku cinta tanah air wajib mempertahankannya dengan jihad.
Konsep Jihad
Konsep jihad dalam Islam sering
disalahfahami. Bagi pihak lain konsep ini sering ditangkap sebagai konsep genocide atau
pemusnahan bagi mereka yang berbeda dengan (kebenaran, aqidah) Islam. Karena
itu, kata jihad sering menjadi sesuatu yang menakutkan bagi orang-orang yang
tidak seiman dengan Islam.
Maka timbulah Islamophobia, rasa
takut dan anti terhadap Islam. Bagi kalangan muslim sendiri, sebagian
mempersempit pengertian jihad dengan usaha menyingkirkan setiap yang berbeda
dengan “diri”nya, dengan faham dan keyakinannya, bila perlu dengan kekerasan.
Pengertian seperti inilah yang
menyuburkan kesalahfahaman orang lain. Apalagi ada kalanya konsep seperti itu
menjelma dalam tindakan.
Islam telah memperkenalkan jihad
dengan konsep yang universal. Jihad memang mengandung pengertian perlawanan.
Namun, perlawanan yang diusungnya adalah perlawanan terhadap nilai-nilai yang
merugikan kehidupan manusia, perlawanan terhadap setiap yang tidak humanis.
Seperti ketidakadilan, penganiyaan, perampokan hak dan seterusnya, yang
sifatnya universal. Dengan demikian, maka jihad dalam Islam tidak bertentangan
dengan tujuan keberadaan islam sendiri, yaitu rahmatan lil alamin. Dari itu,
maka setiap aktivitas jihad tidak boleh melukai orang lain, termasuk diri
sendiri. Wallahu’alam. (Abu
Ahmad/Buletin SUara Istiqamah)