Allah swt berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu.
Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan
yang besar”. [Al-Ahzab: 70-71]
Orang tua kita dulu sering
menasihati, "Jaga lisanmu, Nak. Karena lisan lebih tajam daripada pedang.
Jika pedang melukai tubuh, banyak obat bisa kita cari. Tapi kalau lisan melukai
hati, ke mana obat hendak kita cari."
Rasulullah saw mengingatkan,
“Manusia yang paling banyak dosanya pada hari kiamat adalah mereka yang banyak
bicara/berkata pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya”.
Oleh sebab itu wajar kalau Nabi
memberi kabar gembira, “Berbahagialah/beruntunglah bagi orang yang bisa menjaga
lidahnya”. (HR.Thabrani)
Berhati-hatilah terhadap lisan
karena bisa menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Jika kita tidak mengetahui
sebuah perkara dengan pasti, sebaiknya kita diam. Bahkan, jika tidak ada nilai
ibadahnya, tidak mengandung doa, syiar atau dakwah, lisan kita lebih baik diam.
Di zona diam, lisan akan menyelamatkan.
Rasullulah SAW memperingatkan
manusia agar tak banyak bicara, kecuali berbicara untuk hal-hal yang penting,
bermanfaat ataupun untuk mengingat Allah SWT. "Janganlah kamu sekalian
memperbanyak bicara selain berdzikir kepada Allah; sesungguhnya memperbanyak
perkataan tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan sejauh-jauh
manusia adalah yang hatinya keras." (HR Tirmidzi).
"Siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Nasihat Imam al-Syafi'i,
"Apabila seseorang ingin berbicara, hendaklah berpikir dulu. Bila jelas
maslahatnya, berbicaralah. Dan jika dia ragu, janganlah dia berbicara hingga
tampak maslahatnya."
Diam memang emas. Tapi berbicara
penuh ilmu dan sarat hikmah adalah berlian. Maka lisan yang dirawat dengan
baik, ibarat cincin emas bertahtakan mutiara berlian.
Suatu hari Rasulullah saw
ditanya, "Siapakah Muslim yang paling utama?" Beliau menjawab,
"Orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari berbuat buruk kepada
orang lain." (HR Bukhari).
Dari Sahl bin Sa'ad ra,
Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang dapat memberikan jaminan
kepadaku tentang kebaikannya apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya
(yakni mulut atau lidah) serta antara kedua kakinya (kemaluannya), maka saya
memberikan jaminan surga untuknya." (HR Bukhari).
Asy-Syafi’i berkata, “Ketahuilah
bahwa hendaknya setiap mukallaf menjaga lisannya dari seluruh perkataan,
kecuali perkataan yang memang tampak ada maslahat di dalamnya. Ketika sama saja
nilai maslahat antara berbicara atau diam, maka yang dianjurkan adalah tidak
berbicara (diam). Hal ini karena perkataan yang mubah bisa menyeret kepada
perkataan yang haram, atau minimal (menyeret kepada perkataan) yang makruh.
Bahkan inilah yang banyak terjadi, atau mayoritas keadaan demikian. Sedangkan
keselamatan itu tidaklah ternilai harganya.” (Al-Adzkaar, hal. 284)
Nabi saw bersabda, “Di antara
tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak ada
manfaatnya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hendaknya setiap kita senantiasa
menjaga diri dari berbicara atau menuliskan komentar yang tidak jelas
manfaatnya. Kita tidaklah berbicara kecuali dalam hal-hal yang memang kita
berharap ada manfaat untuk agama (diin) kita. Ketika kita melihat bahwa suatu
perkataan itu tidak bermanfaat, maka kita pun menahan diri dari berbicara
(alias diam). Kalaupun itu bermanfaat, kita pun masih perlu merenungkan: apakah
ada manfaat lain yang lebih besar yang akan hilang jika saya tetap berbicara?
Sampai-sampai ulama terdahulu mengatakan bahwa jika kita ingin melihat isi hati
seseorang, maka lihatlah ucapan yang keluar dari lisannya. Ucapan yang keluar
dari lisan seseorang akan menunjukkan kepada kita kualitas isi hati seseorang,
baik orang itu mau mengakui ataukah tidak. Jika yang keluar dari lisan dan
komentarnya hanyalah ucapan-ucapan kotor, sumpah serapah, celaan, hinaan,
makian, maka itulah cerminan kualitas isi hatinya. Maka benarlah bahwa
keselamatan itu adalah dengan menjaga lisan.
Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir ra
bertanya, “Ya Rasulullah, apakah keselamatan itu?” Rasulullah menjawab,
“Jagalah lisanmu, …...” (HR. Tirmidzi)
Dari sekian banyak penyakit lisan /lidah, antara lain :
Pertama; Mengadu Domba
Secara prinsip, praktik politik
adu domba adalah memecah belah dengan saling membenturkan (mengadu domba)
kelompok besar yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan. Tujuannya adalah
agar kekuatan tersebut terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak
berdaya. Dengan demikian kelompok-kelompok kecil tersebut dengan mudah
dilumpuhkan dan dikuasai.
Unsur-unsur yang digunakan dalam
praktik politik jenis ini adalah; 1.Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam
masyarakat untuk mencegah terbentuknya sebuah aliansi yang memiliki kekuatan
besar dan berpengaruh, 2.Memunculkan banyak tokoh baru yang bisa dikendalikan
yang saling bersaing dan saling melemahkan, 3.Mendorong ketidakpercayaan dan
permusuhan antar masyarakat, 4.Mendorong konsumerisme yang pada akhirnya memicu
timbulnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Di tengah masyarakat kita dewasa
ini, di tengah era informasi yang sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi
tontonan sehari-hari. Kita secara vulgar disuguhi berita-berita tentang
perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling
caci-maki, saling sikut dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan
kejam. Penggiringan isu, disadari atau tidak, dilakukan sedemikian rupa untuk saling
menghancurkan.
Kedua; Dusta, Bohong
Nabi menyatakan, “Jauhilah olehmu
dusta, sesungguhnya dusta itu menuntun pada kedurhakaan/ dosa, dan sesungguhnya
dosa menuntun ke neraka”.
Terus-terusan seseorang berbuat
dusta dan membiasakan dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.
Di kita ada ungkapan, “Sekali
lancing ke ujian, seumur hidup orang takan percaya”. Jadi kalau dusta satu kali
saja, orang akan sulit percaya kepada kita.
Nabi mengungkapkan, “Kalau orang
sudah biasa dusta, biasanya susah keluar dari dusta”. Berdusta itu mudah, tapi
susah mempertahakan dusta. Nabi menyatakan, “Betapa besar khianat itu, engkau
bercerita kepada saudaramu sebuah cerita, ia (yang diajak cerita itu) dengan
ceritamu itu percaya, sedangkan engkau kepadanya berdusta”.
Ketiga; Ingkar Janji
Tiga hal, barangsiapa yang
padanya ada ketiga perkara ini, ia termasuk katagori orang munafik, walaupun ia
shaum, walaupun ia shalat, dan ia mengaku bahwa dirinya seorang muslim :
Apabila ngomong, ia bohong. Apabila janji, ia ingkar. Dan apabila diberi
amanat, ia khianat.
Semoga kita termasuk orang yang
bisa menjaga lisan, sehingga orang lain selamat dari lisan kita. Wallahu’alam.