Urgensitas Ilmu Dan Pendidikan Tauhid

A. Pengantar

Sebagaimana dimaklumi, tidak sedikit orang yang tidak menyadari bahwa Tauhid merupakan sebuah kenikmatan yang tiada banding. Kesempurnaan keislaman dan keimanan seseorang sebetulnya amat tergantung pada kedalaman ilmu tauhidnya dan seberapa jauh aplikasi ilmunya tersebut.

Berangkat dari kenyataan di atas, pada kesempatan ini kita akan menguraikan dua pokok pikiran yang sangat penting, yaitu urgensitas ilmu Tauhid dan pendidikan berlandasan ilmu tersebut. Tentu saja, makalah ini belum memadai untuk menggambarkan secara komprehensif urgensitas ilmu dan pendidikan Tauhid mengingat terbatasnya ruang dan waktu. Namun demikian, semoga tulisan ini dapat menjadi pengantar dan penggugah akan pentingnya pemahaman terhadap ilmu Tauhid dan pengamalan nilai-nilai Tauhid yang benar dalam kehidupan nyata.

 B. Pentingnya Ilmu Tauhid

Secara teori, Tauhid bermakna mengesakan Allah, sebagaimana diuraikan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin rahimahullâh demikian:


أما التوحيد فهو في اللغة: مصدر وحَّد الشيء إذا جعله واحدا.


وفي الشرع: إفراد الله- تعالى- بما يختص به من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات.

“Adapun tauhid secara bahasa adalah masdar dari kata wahhada al-syay (mengesakan sesuatu) bila ia menjadikannya satu. Sedangkan secara syar’i bermakna mengesakan Allah dalam hal yang menjadi kekhususan bagi-Nya dari Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat.”[1]


Kendati pengertian Tauhid terkesan sederhana, namun tidak syak lagi bahwa ilmu Tauhid merupakan ilmu paling fardhu ‘ain bagi setiap muslim berdasarkan firman Allah Tabâraka wa Ta’âlâ:


{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ} [محمد: 19]

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilâh (yang berhak disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (Q.S. Muhammad, ayat 19)


Kalimat “fa’lam” di dalam ayat di atas menunjukkan kewajiban yang harus ditunaikan, sebab sebuah kata perintah (fi’il amr) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah pada asalnya menunjukkan wajib kecuali jika didapati dalil lain yang memalingkannya, sebagaimana qaidah ushul fiqih menyatakan demikian:


الأصل في الأمر الوجوب إلا بقرينة ، والأصل في النهي التحريم إلا بقرينة


“Pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada sebuah qarinah, dan pada dasarnya sebuah larangan itu menunjukkan haram kecuali ada sebuah qarinah.” (al-Tajrīd li Ikhtiyarât Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyyah, hlm. 80)

Namun amat disesalkan, tidak sedikit umat Islam belum menyadari hakikat kewajiban tersebut. Mereka sangka jika sudah belajar dirâsah islâmiyyah maka selesai kewajiban walau mungkin ilmu Tauhid belum dikaji dengan serius, apalagi diamalkan dalam kehidupan keseharian.

Padahal, sehebat apapun amal seseorang bila tidak disertai ketauhidan kepada Allah niscaya menjadi sia-sia belaka. Hal ini setidaknya tersirat dalam firman Allah Tabâraka wa Ta’âlâ:


{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ} [البينة: 5]


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. al-Bayyinah, ayat 5)


Keikhlasan merupakan buah ketauhidan yang benar. Artinya, takkan mungkin kita berbuat dengan ikhlas yang benar apabila kita tidak memahami ilmu Tauhid dengan benar. Maka aneh jika ada seorang kafir dianggap ikhlas dalam amalnya. Andaikan mereka berbuat tanpa mengharapkan imbalan apapun, mereka hanya dinilai beramal tanpa pamrih, bukan beramal dengan ikhlas. Hal ini dikarenakan ketidakpamrihan tidak identik dengan keikhlasan. Orang bekerja tanpa pamrih mungkin dinilai sebuah kebaikan tetapi tidak otomatis dikategorikan amal shaleh. Perhatikan firman Allah berikut ini.


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ} [البقرة: 264]


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah, ayat 264)

Ayat di atas mengisyaratkan kesia-siaan amal orang-orang kafir dilantarankan mereka tidak beriman kepada Allah. Dengan demikian, syarat mutlak sebuah amal diterima Allah tiada lain adalah kalimah tauhid dalam hati. Bukankah seorang ‘ulama dari kalangan Tabi’in bernama al-Fudhail ibn ‘Iyadh pernah menuturkan bahwa syarat meraih sebaik-baiknya amal adalah dengan keikhlasan dan mutaba’ah Rasulillah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau uraikan ketika menafsirkan ayat:


{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ} [الملك: 2]


“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. al-Mulk, ayat 2)

Oleh karena itu, mempelajari ilmu Tauhid dan mengamalkannya merupakan prasyarat dalam beraktivitas. Bahkan sekiranya semua muslim mengetahui hakikat kebenaran ini tentunya mereka akan mendahulukan pengkajian ilmu Tauhid dibandingkan ilmu-ilmu Islam lainnya. Akan tetapi sayangnya, banyak sekali kaum muslim yang alih-alih mendalami ilmu Tauhid malah kedudukan mulia kalimah Tauhid pun tidak mereka pahami.


Barangkali ada pula beberapa muslim yang belum pernah memerhatikan keutamaan kalimah Tauhid di dalam hadits berikut.


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « قَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا رَبِّ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ بِهِ وَأَدْعُوكَ بِهِ». قَالَ: «يَا مُوسَى قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ». قَالَ: «يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ، يَقُولُ هَذَا ». قَالَ: « قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ». قَالَ: « لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا رَبُّ، إِنَّمَا أُرِيدُ شَيْئًا تُخُصُّنِي بِهِ ». قَالَ: « يَا مُوسَى لَوْ كَانَ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ، وَعَامِرُهُنَّ غَيْرِي، وَالْأَرَضِينَ السَّبْعُ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فِي كِفَّةٍ مَالَتْ بِهِنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ».


(رواه الحاكم في المستدرك وقال: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ).

Dari Abu Sa’id al-Khudriy – semoga Allah meridhainya – dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Nabi Musa ‘alaihi al-Salâm berdoa, ‘Wahai Rabb, ajarkan kepadaku sebuah kalimat yang bisa aku berdzikir dan berdoa dengannya!’ Maka Allah berfirman, ‘Wahai Musa, ucapkan: “Lâ ilâha illa Allâh”!’ Musa kemudian berkata, ‘Wahai Rabb, setiap hamba-Mu juga mengucapkan kata-kata ini?’ Allah pun berfirman kembali, ‘Ucapkan: “Lâ ilâha illa Allâh!”’ Maka Musa pun akhirnya berujar, ‘Lâ ilâha illa Anta! Wahai Rabb, sesungguhnya aku menginginkan sesuatu yang special untuk diriku!’ Allah pun berfirman, ‘Wahai Musa! Seandainya tujuh lapis langit beserta penghuninya selain Diri-Ku dan tujuh lapis bumi ada dalam satu buah piring timbangan, sedangkan “Lâ ilâha illa Allâh” ada dalam satu piring timbangan lainnya, niscaya kalimat “Lâ ilâha illa Allâh” mengalahkannya.” (H.R. al-Hakim)[2]

Dengan demikian, tidak mengenal ilmu Tauhid sama dengan tidak mengetahui hakikat ajaran Islam sebenarnya, sebab awal dan akhir ajaran Islam semuanya bermuara kepada implementasi syahâdatain yang sumber utamanya adalah tauhidullâh. Sebaliknya, semua maksiat dan dosa berawal dari kemusyrikan kepada Allah Ta’âlâ. Perhatikan hadits di bawah ini yang menjelaskan secara gamblang kewajiban kita untuk mengesakan Allah dan menjauhi perbuatan syirik sebagai jalan keselamatan dunia, dan terlebih lagi di akhirat nanti.


عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –، عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –: « إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ ». – أخرجه البخاري (425)، ومسلم (33).


Dari ‘Itban ibn Malik – semoga Allah meridhainya – dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, ‘Lâ ilâha illa Allâh’ (Tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah)!’ yang ia mengucapkannya itu karena mengharap Wajah Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Juga hadits yang mengilustasikan keutamaan kalimah Tauhid sebagai pembuka pinta Surga di antaranya:


عَنْ أَبِي ذَرٍّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ نَائِمٌ عَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ فَإِذَا هُوَ نَائِمٌ ثُمَّ أَتَيْتُهُ وَقَدِ اسْتَيْقَظَ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ ، فَقَالَ : « مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ ». قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: «وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ». قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ : « وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ ».


ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ فِى الرَّابِعَةِ : « عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِى ذَرٍّ ». قَالَ: فَخَرَجَ أَبُو ذَرٍّ وَهُوَ يَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِى ذَرٍّ. {صحيح البخاري ت (14/ 513 رقم 5827) وصحيح مسلم (1/ 66 رقم 283)}


Dari Abu Dzar – semoga Allah meridhainya – ia mengatakan, “Aku menemui Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tengah tidur dan sedang memakai pakaian putih, maka ketika aku menghampiri beliau tiba-tiba beliau terbangun, lalu aku duduk menghadap beliau, maka beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan “Lâ ilâha illa Allâh” kemudian ia meninggal dalam kondisi tersebut, niscaya ia akan masuk ke Surga.’” Aku bertanya, ‘Walaupun ia pernah berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “(Benar) walaupun ia pernah berzina dan mencuri.” Aku bertanya lagi (untuk meyakinkan), “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri?” Beliau pun menjawab dengan jawaban sama, “(Betul) meskipun ia pernah berzina dan mencuri!”

Kemudian akupun mengulangi pertanyaan ketiga kalinya dan pada keempat kalinya beliau berujar, “Tersungkur hidung Abu Dzar!” Maka Abu Dzar pun keluar seraya mengucapkan, “Sungguh tersungkur hidung Abu Dzar!” (H.R. Bukhari dan Muslim, dan ini lafadz riwayat Muslim)


وعن أبي هريرة – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَوْ عَنْ أَبِي ذَرٍّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم –: « أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ ». – صحيح مسلم (1/ 42) –


Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridhainya – atau dari Abu Dzar – semoga Allah meridhainya – ia mengatakan, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilâh yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tidak mungkin seorang hamba berjumpa dengan Allah tanpa keraguan (atas kebenaran kedua kalimat syahadat tadi), lalu ia terhalang dari Surga.” (H.R. Muslim)


وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ مَرْفُرعًا: « مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ». – أخرجه مسلم (29) –.


Dari ‘Ubadah ibn Shamit secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) beliau bersabda, “Siapa yang bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, niscaya Allah mengharamkan untuknya neraka.” (H.R. Muslim)


قال الحافظ ابن رجب في “تحقيق كلمة الإخلاص” المدرجة في مجموع رسائله 3/ 45 – 46: وأحاديث هذا الباب نوعان، أحدهما ما فيه أن من أتى بالشهادتين دخل الجنة أو لم يحجب عنها، وهذا ظاهر، فإن النار لا يخلد فيها أحد من أهل التوحيد الخالص، وقد يدخل الجنة ولا يحجب عنها إذا طُهِّر من ذنوبه بالنار، وحديث أبي ذر معناه: أن الزنى والسرقة لا يمنعان من دخول الجنة مع التوحيد، وهذا حق لا مرية فيه، ليس فيه أن لا يعذب يوما ًعليهما مع التوحيد.


والثاني ما فيه أنه يحرم على النار، وهذا قد حمله بعضهم على الخلود فيها، أو على نار يخلد فيها أهلها، وهي ما عدا الدرك الأعلى، فإن الدرك الأعلى يدخله كثير من عصاة الموحدين بذنوبهم، ثم يخرجون بشفاعة الشافعين وبرحمة أرحم الراحمين وفي “الصحيحين”: إن الله تعالى يقول: “وعزتي وجلالي لأخرجن من النار من قال: ” لا إله إلا الله “.

Al-Hafidz ibn Rajab mengatakan di dalam “Tahqiq Kalimat al-Ikhlas” al-Mujarrad (Implementasi Kalimat Ikhlas secara Berangsur) di dalam kumpulan risalah beliau (Vol. III, hlm. 45-46), bahwa hadits-hadits di atas pada bab ini ada dua macam; Pertama, dimaknai bahwa siapa menerima kalimat syahâdatain akan masuk ke Surga atau tidak terhalang darinya. Hal ini sangat jelas, karenanya seorang yang menerima kalimat Tauhid dengan ikhlas itu tidak akan kekal di dalam neraka Tetapi, terkadang (dimaknai) ia masuk ke Surga dan tidak terhalang darinya jika ia telah dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka. Dan hadits Abu Dzar di atas mengandung pengertian, bahwa perbuatan zina dan pencurian tidak menghalangi orang untuk masuk ke Surga bila disertai Tauhid. Dan pernyataan inipun benar adanya yang tidak diragukan lagi, dan tidak dimaknai bahwa takkan disiksa atas kedua perbuatannya itu sehari pun bila disertai Tauhid.

Kedua, di dalam hadits tersebut mengandung makna diharamkannya neraka, dan hal ini kadang dimaknai sebagian ‘ulama (diharamkannya) kekal di neraka, atau (diharamkan) memasuki neraka yang penghuninya dikekalkan, yaitu selain neraka paling atas, sebab banyak orang-orang durhaka dari kalangan ahli Tauhid yang memasuki neraka paling atas dilantarankan dosa-dosa mereka, kemudian mereka dikeluarkan darinya dengan perantaraan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at dan rahmat dari Dzat yang paling pemurah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam dua kitab Shahīh, bahwasanya Allah berfirman, “Demi Keagungan dan Kemuliaan-Ku! Pasti Aku akan keluarkan dari api neraka orang yang mengucapkan, ‘Lâ ilâha illa Allâh.’”[3]


Ringkas kata, ilmu Tauhid sebagaimana disepakati jumhur ‘ulama merupakan ilmu fardhu ‘ain yang seringkali dilupakan orang, sehingga tidak terlalu mengherankan bila banyak umat Islam di tanah air ini yang masih melakoni dan menekuni perbuataan syirik, takhayul dan khurafat, entah disadari atau tidak dengan getolnya mereka berziarah kubur ke makam-makam wali pada bulan-bulan tertentu untuk sekedar bertawassul dan bertabarruk ke ahli kubur. Padahal, perbuatan tersebut bertolak belakang dengan Tauhid.


C. Pentingnya Pendidikan Tauhid


Menurut Syaikh Shalih ibn Fauzan – hafidzhullâh – bahwa urusan akidah adalah tauqifiyah (berdasarkan wahyu semata). Ia tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i serta tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas pada apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab, tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah, tentang apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang harus disucikan dari-Nya melainkan Allah sendiri. Dan tidak seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain Rasulullah shallallãhu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, manhaj salaf al-shãlih dan para pengikutnya dalam mengambil akidah terbatas pada al-Qur’an dan al-Sunnah.[4]


Kekhawatiran terjadinya penyimpangan akidah yang berasal dari pemahaman ilmu tauhid yang tidak sesuai dengan manhaj yang benar, itu merupakan fakta yang nyata di lingkungan kaum muslim. Tidak sedikit kaum muslim yang tidak menjalankan ajaran agamanya terkadang bersumber dari kekurangimanan mereka terhadap perintah-perintah Allah, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.


Oleh sebab itu, penyimpangan dari akidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan, karena akidah yang benar merupakan pendorong utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa akidah yang benar, seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keraguan yang lama-lama mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan kehidupan yang bahagia. Selanjutnya, hidupnya akan terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan mengakhiri hidupnya, walaupun dengan bunuh diri. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah akidah yang benar.[5]


Jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, founding father Persatuan Islam, Dr (Hc) Mohammad Natsir – Allâhu yarhamuhu – di dalam Capita Selektanya telah menggagas pola pendidikan berlandaskan Tauhid.


Tak pelak lagi, pendidikan Tauhid merupakan kebutuhan primer bagi umat Islam, karena Tauhid merupakan pilar yang utama dalam ajaran Islam. Bahkan, hakikat Ajaran Islam itu sendiri adalah sebuah manisfretasi dan internalisasi Tauhid. Sehingga bisa dikatakan, jika Tauhid hilang maka hakikat Ajaran Islam pun lenyap bersamanya.


Di dalam bidang pendidikan, menurut ‘ulama tujuan utama dari pendidikan itu tiada lain adalah membentuk kepribadian muslim yang taat dan bertakwa. Untuk itu, esensi pendidikan Islam pun tidak bisa dilepaskan dari konsep Tauhid.


Dengan kata lain, Tauhid menjadi ruh bagi pendidikan Islam. Persis seperti seorang manusia, betapa pun eloknya seorang manusia jika ia tak bernyawa, maka orang tersebut disebut mayat. Namun sebaliknya, walaupun secara fisik tidak menarik kalau ia bernyawa maka disebut makhluk hidup.


Ajaran Islam, dengan demikian, sangat memerhatikan dan mengutamakan Tauhid. Di dalam al-Qur’an Tauhid diibaratkan akar yang menghujam sangat dalam ke bawah tanah bagi sebuah pohon, sebagaimana Allah Ta’ãlã berfirman:


أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ (28) جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ  [إبراهيم/24-29]


Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[6] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk[7] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh[8] (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah[9] dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (Q.S. Ibrahim, ayat 24-29)[10]


 Berkenaan dengan ayat di atas Ibnu Katsir menjelaskan demikian:

قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس في قوله: { مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً } شهادة أن لا إله إلا الله، {كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ } وهو المؤمن، { أَصْلُهَا ثَابِتٌ } يقول: لا إله إلا الله في قلب المؤمن، { َفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ } يقول: يرفع بها عمل المؤمن إلى السماء.


Ali ibn Abi Thalhat menerima dari Ibn ‘Abbas bahwa yang dimaksud “Perumpamaan Kalimat Thayyibah” adalah syahadat Lã ilãha illallãh. Dan yang dimaksud perumpamaan yang baik itu ialah orang yang beriman, sedangkan yang dimaksud akarnya yang teguh menghujam ke dalam tanah adalah kalimat Lã ilãha illallãh yang bersemayam di dalam hati orang yang beriman, dan yang dimaksud cabangnya menjulang ke langit adalah terangkatnya amal orang yang beriman dengan Tauhidnya itu ke langit.[11]


 


Oleh karena itu, tidak bisa disangkal lagi bahwa ketauhidan seseorang menentukan diterima atau ditolaknya seluruh amal orang tersebut. Maka daripada itu, Allah memberikan perumpamaan bagi perbuatan syirik sebagai pohon rapuh yang tak berakar. Allah Ta’ãlã berfirman:


وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ


Artinya: “Dan perumpamaan kalimat yang buruk[12] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”


Dengan demikian, ketika seorang beramal dan beraktivitas tetapi disertai perbuatan syirik kepada Allah, niscaya amal dan aktivitasnya itu akan tertolak, sebagaimana hadits Rasulullah shallallãhu ‘alaihi wa sallam di bawah ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: « قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ ». – صحيح مسلم  (ج 8 / ص 223) –


Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah Tabãraka wa Ta’ãlã berfirman, “Aku tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang beramal dengan cara menyekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku akan membiarkan ia beserta sekutunya itu.’” (H.R. Muslim)

Berkaitan dengan hadits diatas, Imam Nawawi memberikan penjelasan sebagai berikut.


وَمَعْنَاهُ أَنَا غَنِيّ عَنْ الْمُشَارَكَة وَغَيْرهَا ، فَمَنْ عَمِلَ شَيْئًا لِي وَلِغَيْرِي لَمْ أَقْبَلهُ ، بَلْ أَتْرُكهُ لِذَلِكَ الْغَيْر . وَالْمُرَاد أَنَّ عَمَل الْمُرَائِي بَاطِل لَا ثَوَاب فِيهِ ، وَيَأْثَم بِهِ. – شرح النووي على مسلم (ج 9 / ص 370) –


“Maknanya adalah Aku tidak butuh kepada sekutu dan yang lainnya. Oleh karena itu, siapa yang mengerjakan sesuatu untuk-Ku dan juga untuk selain-Ku, niscaya Aku tidak akan menerimanya, bahkan Aku akan meninggalkannya untuk selain-Ku. Dan yang dimaksud dengannya adalah bahwa sesungguhnya amal orang yang riya’ itu suatu kebatilan yang tiada pahala baginya, malah justru berdosa karenanya.”[13]

Memahami Imu Tauhid, dengan demikian, merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap orang muslim. Bahkan dapat dikatakan, bahwa kewajiban yang paling utama dan pertama bagi kaum muslim itu tiada lain adalah Ilmu Tauhid. Namun pada kenyataannya, seringkali orang tidak mengacuhkan hal ini, sehingga alih-alih ia paham terhadap urusan Tauhid ini, justru yang terjadi adalah mereka sangat awam kepadanya. Sehingga, pendidikan Tauhid dengan kurikulum yang baik dan benar sangat dibutuhkan umat Islam hari ini.


D. Penutup


Sebagai penutup kita dapat simpulkan dari uraian di atas, bahwa ilmu Tauhid merupakan seutama-utamanya ilmu dalam Islam, bukan sembarangan ilmu, yang sejatinya ruh bagi ajaran Islam itu sendiri. Untuk itu, sepiawai apapun seorang ‘ulama dan cendikiawan muslim jika ia tidak pernah mempelajari ilmu Tauhid dengan seksama maka kecerdasannya itu takkan membawa keberkahan dalam dirinya. Orang cerdas tanpa tauhid bagaikan keelokan seorang remaja tanpa ruh.


Namun demikian, mempelajari ilmu Tauhid harus menempuh manhaj yang benar agar tidak tersesat dari akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Di sini letak urgensitas kurikulum pendidikan Tauhid yang mungkin patut kita kaji ulang supaya ilmu Tauhid tidak sebatas hapalan semata tetapi terjewantahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Jangan sampai qaidah-qaidah ilmu Tauhid dihapal di luar kepala namun ketika beraktivitas di lapangan ruh tauhid itu hilang seketika.


Wallâhu a’lam walhamdulillâh!


Penulis : Dr. Syarif Hidayat, M.Pd.I

– Wakil Ketua II Dewan Da’wah Jawa Barat

– Direktur ADI Jawa Barat



[1] Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, al-Qaul al-Mufid Syarh Kitab al-Tauhid, Iskandariyah: Dâr al-‘Aqīdah, cet. Pertama, 1425 H./ 2004, hlm. 7.

[2] Hadits di atas diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahīhain (Vol. I, hlm. 710, hadits no. 1936 versi al-Maktabah al-Syâmilah) dan menurut beliau sanadnya shahih namun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.

Juga, diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Vol. I hlm. 581) , al-Nasai di dalam al-Kubrâ (hadits no. 10680), Abu Ya’la (hadits no. 1393), al-Baihaqiy di dalam al-Asmâ` wa al-Shifât (hadits no. 185), al-Baghawiy di dalam Syarh al-Sunnah (Vol. V, hlm. 54-55), dari jalur sanad Daraj Abu al-Samah dari Abu al-Haitsam dari Abu Sa’id al-Khudriy. Riwayat Daraj dari Abu al-Haitsam itu dha’if. (Lihat catatan kaki Syaikh Muhammad al-Utsaimin, al-Qaul al-Mufīd Syarh Kitâb al-Tauhīd, hlm. 48)

Namun, hadits di atas dinilai shahih oleh sebagian ‘ulama – kalau tidak salah – seperti Ibn Hajar al-Asqalaniy rahimahullâh, wallâhu a’lam.

[3] Catatan kaki Sunan Abu Daud, Vol. V, hlm. 35-36 (al-Maktabah al-Syâmilah)

[4] Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah al-Fauzan, Kitab Tauhid, (terj. Syahirul Alim), Jakarta: Ummul Qura, 2014, hlm. 3-4

[5] Ibid, hlm. 5

[6] Terjemah Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Kementerian Agama memberikan pengertian bahwa termasuk dalam Kalimat yang baik ialah Kalimat Tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. Kalimat tauhid seperti Lã ilãha illallãh.

[7] Termasuk dalam Kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik.

[8] Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24 di atas

[9] Yang dimaksud dengan nikmat Allah di sini ialah perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah.

[10] Depatemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah, Edisi Tahun 2002, Depok: Al-Huda, 2005, hlm. 259-260

[11] Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, (Kairo: Dar al-Fikr),

[12] Termasuk dalam kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik. termasuk dalam Kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik.

[13] al-Nawawiy, Syarh Shahīh Muslim, vol. 9, hlm. 370 di dalam al-Maktabah al-Syâmilah.

Sumber : https://www.dewandakwahjabar.org/urgensitas-ilmu-dan-pendidikan-tauhid/

Previous Post Next Post