Oleh: Dr. Adian Husaini
Nabi Muhammad saw pernah memperingatkan kita semua: “Akan datang pada umat manusia tahun-tahun yang penuh kebohongan. Saat itu, pembohong dianggap orang jujur. Orang jujur dianggap pembohong. Pengkhianat dianggap sebagai orang amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Dan yang berbicara kepada masyarakat adalah “al-Ruwaibidhah”. Ada yang bertanya, “Siapa itu al-Ruwaibidhah?” Rasulullah saw menjawab, “Orang bodoh yang memegang urusan masyarakat.” (HR. Hakim)
Apakah zaman yang digambarkan oleh Rasulullah saw itu sudah tiba saat ini? Wallahu A’lam. Yang jelas, kita saat ini telah memasuki satu masa yang dikenal sebagai era post-truth, zaman pasca kebenaran, atau era yang melampaui kebenaran. Tidak ada lagi ’setelah kebenaran’, kecuali kebohongan.
Istilah post truth mulai terkenal setelah Kamus Oxford menempatkan kata ini sebagai kata yang fenomenal pada tahun 2016 (word of the year 2016). Katanya, pada tahun 2016, “Post-truth has gone from being a peripheral term to being a mainstay in political commentary, now often being used by major publications without the need for clarification or definition in their headlines.”
Di era post-truth, atau era kebohongan, sesuatu berita diterima lebih karena faktor emosi, meskipun tanpa didukung fakta yang memadai. Cek dan ricek tak diutamakan lagi. Kebohongan yang direkayasa menjadi -- seolah-olah – kebenaran, akan memiliki pengaruh yang kuat dalam diri seseorang, keluarga, atau masyarakat.
Padahal, betapa pun canggihnya, kebohongan pasti akan berujung kepada keburukan dan kerusakan. Rasulullah saw bersabda: ‘Hendaklah kalian selalu jujur. Sebab, kejujuran akan membawa pada kebaikan; dan kebaikan akan mengantarkan ke surga… Jauhilah dusta! Sebab, dusta mengantarkan pada kejahatan; dan kejahatan mengantarkan ke neraka...” (HR Bukhari dan Muslim).
*****
Di era kebohongan saat ini, hampir tidak mungkin mengasingkan seseorang dari segala jenis informasi; baik informasi yang merusak atau yang memperbaiki. Seperti dijelaskan dalam QS al-An’am ayat 112, setan – baik jenis manusia maupun jenis jin – menipu dan menyesatkan manusia dengan menyampaikan informasi yang menarik tetapi merusak.
Setiap insan pasti diuji imannya oleh Allah SWT. “Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengaku-aku beriman, kemudian mereka tidak diuji lagi? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga (tampaklah) siapa yang imannya benar dan siapa yang imannya dusta.” (QS 29:2-3).
Ujian iman yang berat saat ini adalah ujian pemikiran. Informasi yang merusak itu bukan hanya disebarkan melalui koran, internet, televisi, dan media massa lainnya. Tetapi, ada kalanya, informasi yang salah itu juga dikemas dengan indah, lalu disampaikan dengan canggih dan sistematis dalam buku-buku ajar di semua jenjang pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi.
Berbagai teori yang bertentangan dengan ajaran Allah SWT diajarkan kepada para siswa, santri, dan mahasiswa. Kata mereka, yang patut dianggap sebagai hal yang ilmiah adalah yang rasional dan empiris. Sementara al-Quran tidak dianggap sebagai sumber ilmu yang otoritatif. Maka terjadilah kekacauan ilmu (confusion of knowledge), yang berujung pada hilangnya adab dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Karena begitu cepat dan masifnya serbuan informasi yang destruktif kepada seluruh anggota keluarga kita, maka cara yang terbaik adalah dengan membangun pola pikir yang Islami, yang adil dan beradab. Inilah pentingnya setiap muslim memiliki Islamic Worldview, yakni cara pandang yang Islami terhadap realitas (ru’yatul Islam lil-wujuud).
Bersambung...