Bencana Datang Bertubi, Teguran atau Azab?

Beberapa tahun terakhir, hati kita dibikin kecut oleh berbagai macam bencana alam yang mengerikan. Gempa bumi, banjir, tsunami, sampai tanah longsor. Deretan bencana itu bagaikan episode tak putus-putus, membentuk jalinan babak prahara tanpa henti. Melihat rentetan bencana tersebut, kadang kita bertanya, “mengapa alam kita saat ini demikian rapuh?”

Perlu kita ingat bahwa bencana seringkali diturunkan sebagai akibat dari perilaku manusia sendiri yang tidak peduli dengan ajaran-Nya. Sebab, konteks musibah sebagai ujian bagi hamba yang dicintai-Nya, berbeda dengan bencana sebagai bentuk peringatan, apalagi hukuman. Jika melihat keserakahan manusia dan kemaksiatan yang merajalela, maka sangat mungkin bencana saat ini lebih mendekati pada teguran atau bahkan azab.

Tentu Allah tidak dengan tiba-tiba memerintahkan bumi untuk bergoyang atau tanah untuk longsor, tanpa melalui mekanisme alam.Allah telah menetapkan sistem kerja pada alam raya ini dan mengaturnya sedemikian rupa.Jika ternyata alam begitu mengancam pasti ada yang salah dalam merawatnya, karena alam ini adalah benda yang bisa rusak bila tidak dijaga/dirawat dengan baik.
Allah telah memberi peringatan tegas agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi (QS. al-Baqarah: 11). Allah juga mengikat manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi agar menjaga alam ini (QS al-Baqarah: 30). Dalam salah satu Hadits Rasulullah saw bersabda, “Bumi ini sangatlah indah dan terhampar hijau dan katakan bahwa Allah akan meletakkanmu sebagai khilafah di muka bumi dengan melihat bagaimana kamu bertindak terhadapnya.” (HR Muslim).

Banjir dan tanah longsor misalnya, adalah bencana yang terjadi tidak sepenuhnya karena siklus alam, namun lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia.Banjir dan longsor bisa disebut sebagai bencana yang “disengaja”. Dengan melakukan penggundulan hutan dan pembuangan sampah bukan pada tempatnya berarti sama halnya dengan mengupayakan bencana. Fungsi hutan sebagai penyimpan air terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus, sedangkan sungai yang mendukung pengaliran air ke laut semakin dangkal dan menyempit karena terus dijejali dengan tumpukan sampah.

Ditambah lagi dengan kebobrokan moral yang telah melanda dunia. Perbuatan-perbuatan maksiat dianggap biasa, atau bahkan mendapat pembelaan atas nama kebebasan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Agama hanya dianggap sebagai urusan personal yang tidak boleh dibawa ke ranah publik. Kenyataan seperti ini sama saja dengan mengundang azab Allah swt.
Bencana alam dan perilaku manusia sepertinya memang tidak memiliki hubungan apapun.Tapi jelas, sejarah menyatakan bahwa bencana seringkali berawal dari perilaku manusia yang durhaka.Kaum Nabi Nuh musnah oleh banjir bah, kaum Ad dan Tsamud musnah karena mereka telah mengingkari seruan untuk tidak menyekutukan Allah swt.

Dalam beberapa ayat, Allah swt telah memberi peringatan tegas dengan menjadikan perilaku umat terdahulu sebagai bahan renungan.Allah swt berfirman, “Dan jika Aku hendak membinasakan suatu negeri, maka Aku perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan-Ku), kemudian Aku hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. al-Isra’: 16).Dalam surat yang sama Allah berfirman, “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Aku membinasakannya sebelum hari kiamat atau Aku azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras.” (QS. al-Isra’: 58).

Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda: “Setiap kali suatu perbuatan keji (kemaksiatan) dilakukan secara terang-terangan dalam suatu masyarakat, niscaya di tengah mereka akan timbul suatu penyakit menular yang berbahaya dan kelaparan yang tidak pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya”.  (HR.Baihaqi).

Melihat fenomena ini, kita harus menyadari bahwa aneka bencana yang terjadi itu, bukan faktor alam saja, tapi juga ditimbulkan oleh kesalahan manusia.Bencana bukan semata-mata fenomena alam biasa, tapi lebih dari itu merupakan teguran atau azab dari Allah. Untuk itu, seharusnya bencana tersebut merupakan bahan renungan untuk muhasabah (introspeksi diri), mengapa bencana terus terjadi?Apakah akibat ketidakpedulian manusia terhadap kelestarian alam, atau akibat kemaksiatan yang begitu merajalela, atau mungkin kedua-duanya?.

Sebagai contoh: (1)Kita dikejutkan dengan berita mengenai munculnya kembali Demam Ebola di Afrika Tengah yang kemudian merambah ke beberapa negara Afrika lain yang memakan korban ribuan orang. (2) Tahun 1981 diketemukan virus ganas bernama HIV, yang menimbulkan penyakit AIDS. (3) Demam Berdarahdan Cikungunya yang sudah menelan banyak korban. (4)Munculnya pengakit ‘antrax’ yang menyerang hewan ternak domba, kemudian disusul dengan penyakit ‘Sapi Gila’ (mad cow) dari Amerika, lalu kita dihebohkan dengan kemunculan penyakit ‘flu Burung’ yang dapat menyerang manusia, dan banyak menelan korban manusia. Dan itu sudah menyebar ke berbagai Negara di dunia. (5) Ditambah dengan berbagai bencana alam di belahan bumi ini, seperti angin topan, badai, gempa bumi yang mengakibatkan kerusakan di sana sini, juga banyak menelan korban, dan berita yang terakhir kita dengar adalah adanya bencana longsor di Banjarnegara Jateng, angina puting beliung di Bandung dan banjir Bandung Selatan, dll. Ini adalah sebuah statistik bahwa era di mana kita hidup didalamnya telah melihat peningkatan baik dalam jumlah maupun keseriusan peristiwa bencana tersebut.

Kalau kita hubungkan dengan sabda Rasulullah saw di dalam hadits Ibnu Majah, menyatakan: “Kalaulah di sebuah daerah, di sebuah negeri sudah merajalela alfahisyah (perbuatan dosa) yang harusnya mendapatkan hukuman di dunia, seperti; zina (kalau tidak didera di rajam), pencuri/perampok/ koruptor itu harus mendapat hukuman di potong tangan, mabuk/teler dihukum dengan hukuman cambuk 40x, membunuh dihukum qishash (dibunuh lagi). maka Allah SWTmenjanjikansemua peristiwa dan bencana yang kita saksikan di atas bumi dan alam semesta ini tidak ada yang terjadi begitu saja dengan sendirinya, melaikan disebabkan kedurahakaan dan kesombongan manusia terhadap Allah SWT dan syari’at Allah serta berbagai dosa-dosa yang mereka lakukan, sehingga Allah SWT menurunkan berbagai azab atas mereka.
Orang-orang kafir, sombong dan ingkar pada Allah dan Rasul-Nya melihat berbagai peristiwa tersebut murni hanya sebagai peristiwa alam yang terlepas dari kehendak Allah.Mereka tidak dapat melihatnya sebagai sebuah azab, teguran atau cobaan.Melaikan hanya menambah kesombongan dan kekufuran kepada Allah SWT. Sikap yang mereka kembangkan juga seakan menantang azab Allah SWT.
Sikap seperti itu menandakan ketiadaaniman sehingga membawa mereka melakukan berbagai kerusakan bukan hanya yang bersifat fisik, seperti pengrusakan alam, namun juga yang bersifat mental, seperti: kezhaliman, tidak memperhatikan halal dan haram, boleh dan tidak boleh menurut agama serta lainnya.

Kerusakan mental dan ketiadaan iman manusia di suatu negeri tidak bisa dilepaskan dari kerusakan agama para pemimpin dan ulamanya. Ibnul Mubarok mengatakan, ”Tidaklah kerusakan agama (iman) yang ada kecuali dikarenakan para penguasa dan ulamanya yang su’u (buruk).”
Senada dengan apa yang perkataan Ibnul Mubarok di atas, Imam Ghazali di dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” menyebutkan bahwa sesungguhnya kerusakan terjadi pada rakyat disebabkan kerusakan para pemimpin dan kerusakan para pemimpin disebabkan kerusakan para ulama.”

Ketika para pemimpin suatu negeri tidak lagi memiliki keimanan di hatinya, tidak memperdulikan halal-haram, mengabaikan syariat Allah, membuat berbagai kebijakan dan aturan yang menzhalimi rakyat, asyik tenggelam dengan dunianya sendiri, terus menambah pundi-pundi kekayaannya, melanggengkan jabatannya sementara mereka menutup mata atas kesulitan rakyatnya, maka selain membawa kesengsaraan kepada masyarakat secara umum juga dapat medatangkan kemurkaan Allah SWT ketika para ulamanya tidak lagi mau menasehati dan meluruskan mereka.

Disadari atau tidak, sesungguhnya prilaku buruk para pemimpin dapat menjadi contoh buruk bagi para pemimpin yang ada di level bawahnya atau juga bagi masyarakat yangmenyaksikannya. Sungguh mereka tidak hanya memikul dosa-dosa perbuatan mereka saja akan tetapi juga dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya. Tepatlah apa yang disebutkan Ibnu Hajar di dalam kitabnya “al Fath” bahwa rakyat itu tergantung (kualitas) agama para pemimpinnya.

Oleh karenanya, mari kita memperbaiki diri, memperbaiki masyarakat dan memperbaiki alam yang menjadi tugas kita bersama, agar bencana tak datang saling berganti. Tak perlu menunggu besok, saat ini adalah waktu paling tepat untuk melakukan itu. Tentu, kita tak ingin mewariskan alam yang rusak kepada anak cucu kita kelak. Wallahu ‘alam.*** blogdakwah.com/suaraistiqamah.net
Previous Post Next Post