Hak Hak Anak Menurut AJaran Islam (3)

20. MELATIHNYA UNTUK DAPAT MENGGUNAKAN HARTANYA DENGAN BAIK DAN SESUAI KEBUTUHAN SERTA MEMBIASAKANNYA UNTUK MENABUNG DAN TIDAK BOROS
icon_buku_by_rheena-d7iwrtdOrang tua harus memperhatikan hal ini dengan seksama, karena harta adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. Pelatihan ini tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang kaya saja, orang miskin pun harus melatih anaknya untuk hal itu. Betapa banyak anak yang dulunya miskin, kemudian ketika besar dan menjadi kaya, maka mereka menghambur-hamburkan uangnya. Sedangkan kita semua tahu bahwa menghambur-hamburkan uang dilarang dalam agama Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ (

Artinya: ” Sesungguhnya Allah membenci kalian disebabkan tiga hal: ‘katanya-katanya'(gosip), menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya.”[1]
Di antara bentuk kesalahan dalam mendidik anak adalah memberikan segala sesuatu yang anak minta tanpa memperhatikan manfaat dan tujuan yang diminta. Tanpa disadari, hal ini akan mengajarkan anak untuk boros dan tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik dan benar.
Anak juga harus dibiasakan untuk menabung. Anak juga harus diberi penjelasan tentang pentingnya menabung untuk masa depan. Dengan demikian anak dapat menjaga dan memanfaatkan hartanya di masa depan insya Allah.
21. MEMBERIKAN SEMANGAT KEPADANYA UNTUK DAPAT HIDUP MANDIRI, PERCAYA DIRI DAN TIDAK TERGANTUNG DENGAN ORANG LAIN KETIKA BERANJAK DEWASA
Banyak sekali orang tua yang melalaikan hal-hal ini. Mereka tidak mendidik anaknya untuk dapat hidup mandiri. Sebagai contoh yang banyak kita lihat adalah ketergantungan anak-anak yang telah lulus Sekolah Menengah Atas atau setingkatnya kepada kedua orang tuanya. Padahal untuk anak seumur itu pada zaman dahulu, merupakan suatu aib jika sang anak tidak bisa menghidupi dirinya sendiri atau tidak bisa membantu orang tuanya.
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjalan melewati ‘Abdullah bin Ja’farradhiallahu ‘anhu, pada waktu itu orang tuanya sudah meninggal dan dia masih anak-anak, dia sedang berjualan bersama anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendoakannya, “Allahumma barik lahu fi bai’ihi!  (Ya Allah! Berkahilah dia dengan jualannya.)”[2]
Cobalah kita perhatikan bagaimana para shahabat mendidik anak mereka untuk tidak tergantung dengan orang lain, padahal umurnya masih kecil.
Anak-anak juga harus dilatih untuk memiliki kepercayaan diri. Kepercayaan diri itu sangat penting untuk pengembangan dirinya dan pemberian manfaat kepada orang lain. Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri maka akan tampak selalu terbelakang, berbeda dengan yang memiliki kepercayaan diri. Sebagai contoh yang banyak kita lihat di masyarakat adalah ketidakberanian berbicara di depan umum dan menyampaikan ide. Sangat sedikit prosentasi orang yang berani berbicara di depan umum bila dibandingkan dengan yang tidak berani.
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Ali bin Abi Thalib ke yaman untuk menjadi hakim atas pertikaian yang terjadi di sana. ‘Ali pun berkata, “Ya Rasulullah! Engkau mengutusku ke kaum yang mereka lebih tua dariku untuk menjadi hakim di antara mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pergilah sesungguhnya Allah akan mengokohkan lidahmu dan memberi petunjuk kepada hatimu.”[3]
22. MENGAJARKAN KEPADANYA TENTANG PENTINGNYA BERDAKWAH DAN MENJADI ORANG YANG BERMANFAAT UNTUK ORANG LAIN
Di dalam surat Al-‘Ashr Allah menyebutkan bahwa semua manusia dalam kerugian kecuali empat jenis manusia, yaitu: Orang-orang yang beriman, orang-orang yang beramal soleh, orang-orang yang saling menasihati dengan kebenaran dan orang-orang yang saling menasihati dengan kesabaran. Oleh karena itu, orang tua  harus mengajarkan kepada anaknya tentang pentingnya berdakwah dan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain agar mereka tidak menjadi orang yag merugi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ))

Artinya: “Orang yang paling dicintai  oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”[4]
Allah subhanu wa ta’ala menceritakan perkataan Nabi ‘Isa ‘alaihis-salam,
﴿ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ﴾ [ مريم : 31 ]
Artinya: “Dan Dialah (Allah) yang telah menjadikan saya mubarak (penuh dengan keberkahan) di mana pun saya berada.” (QS Maryam : 31)
Di antara tafsiran ayat ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya adalah “menjadi mubarak yaitu dengan ber-amr bil-ma’ruf wa nahi ‘anil-munkar  (Menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran).”
Tentu orang tua sangat senang apabila anaknya menjadi mubarak (penuh dengan keberkahan) dengan menyebarkan kebaikannya kepada orang-orang lain.
23. MENASIHATINYA UNTUK SELALU TABAH DAN SABAR DALAM MENGHADAPI SEMUA UJIAN
Menasihati anak untuk selalu tabah dan sabar hendaklah dilakukah sejak anak masih kecil. Dengan demikian, setelah beranjak dewasa dan menghadapi banyak ujian dia dapat selalu tabah dan sabar.
Coba kita perhatikan bagaimana Luqman Al-Hakim menasihati anaknya untuk bersabar dan hal ini diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.
﴿ يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُور ﴾ [ لقمان : 17 ]
Artinya: “Wahai anakku! Dirikanlah shalat, beramar makruf nahi mungkarlah dan sabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya itu adalah hal-hal yang harus diperhatikan (diwajibkan oleh Allah).” (QS Luqman : 17)
24. MENJAGA KESUCIAN DIRINYA DENGAN MENIKAHKANNYA JIKA TELAH DIRASA BUTUH DAN MAMPU UNTUK ITU
Anak-anak yang telah beranjak dewasa –di zaman sekarang ini- dihadapkan dengan berbagai fitnah, terutama fitnah wanita. Sangat sedikit dari mereka yang bisa selamat dari fitnah ini. Kalau pun bisa selamat dari fitnah zina, maka dia tidak bisa mengelak dari fitnah zina mata dan hati. Tidak sepantasnya orang tua membiarkan anaknya selalu dalam keadaan berdosa.
Biasanya orang tua-orang tua terlalu terpaku dengan pandangan masyarakat yang mengharuskan sang anak belajar sampai tingkatan yang tinggi atau sampai dia bekerja dan memiliki penghasilan yang mapan, sehingga kita dapatkan di zaman sekarang ini banyak pemuda-pemudi yang belum menikah padahal umur mereka sudah sangat layak untuk menikah.
Kalau  kita lihat pandangan masyarakat itu, maka sebagian besar kekhawatiran orang tua-orang tua adalah yang sifatnya duniawi saja. Sangat sedikit dari mereka yang memperhatikan masalah ukhrawi sang anak. Apakah mereka tidak beriman bahwasanya Allah-lah yang mengatur rezki setiap orang?
Kalaulah benar sang orang tua ingin “mengamankan” anaknya dari terus-menerus berlaku dosa, maka sudah sepantasnya dia tidak menghalang-halangi anaknya untuk menikah, baik laki-laki maupun perempuan. Justru seharusnya dia mendukungnya.
Ibnu Qudamah berkata, “Seorang bapak wajib menjaga kesucian anaknya jika anaknya telah membutuhkannya. Pendapat ini adalah yang zahir di mazhab Syafii…”[5]
Demikianlah beberapa hak-hak anak dalam Islam yang penulis sebutkan di dalam tulisan ini. Mudah-mudahan poin-poin di atas bisa mewakili hak-hak anak lain yang belum penulis sebutkan.
Dengan melihat poin-poin tersebut, maka kita bisa melihat keindahan-keindahan Islam dalam mengatur hubungan antara orang tua dan anaknya. Islam sudah lengkap dan sempurna. Hanya saja, banyak di antara kaum muslimin yang tidak mau mempelajari agama Islam, sehingga mereka mengambil pedoman-pedoman dari agama lain atau dari penelitian-penelitian baru dalam mendidik anak, yang mana pedoman-pedoman itu masih perlu “disaring”, apakah sesuai dengan syariat Islam apakah tidak.
Demikian. Mudahan bermanfaat untuk semua. Amin.

[1] HR Al-Bukhari no. 1477 dan Muslim no. 4485
[2] HR Abu Ya’la di Musnad-nya no. 1467 dan Ath-Thabrani , Al-Hafidzh Al-Haitsami mengatakan, “Rijal keduanya tsiqat.” (Majma’ Az-Zawaid jilid IX hal. 466)
[3] HR Ahmad di Musnad-nya no. 666. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya shahih, rijalnya tsiqat dan rijal Syaikhain selain Haritsah bin Mudharrib.” (Al-Musnad, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Bairut)
[4] HR Ath-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Ausath jilid VI hal. 139 dan Al-Mu’jam Ash-Shaghir jilid II hal. 106 no. 861. Hadis ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906 dan no. 426, dan di Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623.
[5] Al-Mughni milik Ibnu Al-Qudamah jilid IX hal. 258, penerbit Darul-fikar: Bairut.
 
Sumber : Ebook Hak-hak Anak Dalam Islam oleh  Ust. Abu Ahmad Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A.







































Previous Post Next Post