8. BERAKIKAH (AQIQAH) DENGAN MENYEMBELIH SATU EKOR KAMBING UNTUK ANAK PEREMPUAN DAN DUA EKOR KAMBING UNTUK ANAK LAKI-LAKI SERTA MENCUKUR RAMBUTNYA DI HARI KE TUJUH KELAHIRANNYA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ ))
Artinya: “Seorang anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”[4]
Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang kewajiban berakikah, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim untuk selalu berusaha mengikuti semua sunnah/ajaran nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
9. MEMPERHATIKAN KEBERSIHAN TUBUHNYA DAN MENGHILANGKAN BERBAGAI GANGGUAN DARINYA
Orang tua wajib memperhatikan kebersihan anaknya. Secara tidak disadari, hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental sang Anak. Begitu pula, sudah sepantasnya orang tua mengajarkan cara menjaga kebersihan. Sebagai contoh kecil, mengajarkannya untuk tidak membuang sampah kecuali di tempat sampah, mengajarkannya untuk membersihkan tempat tidur dan membiasakannya untuk menggosok giginya.
Islam adalah agama yang yang sangat memperhatikan kebersihan. Di antara bentuk ajaran Islam yang menjelaskan tentang kebersihan adalah disyariatkannya berkhitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
10. MENAFKAHINYA SAMPAI DIA BESAR
Anak juga memiliki hak untuk diberi nafkah, seperti: makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ))
Artinya: “Seseorang dianggap berdosa jika dia tidak menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[1]
(( أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ))
Artinya: “Dinar (uang) yang paling afdhal yang diinfakkan oleh seorang laki-laki adalah dinar yang diinfakkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, dinar yang diinfakkan kepada hewan tunggangannya (untuk berjihad) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya (yang sedang berjihad) di jalan Allah.”[2]
11. MENGAJARINYA ILMU-ILMU YANG BERMANFAAT
Orang tua wajib mengajari anaknya ilmu-ilmu yang bermanfaat. Jika dia tidak mampu, maka dia wajib mencari orang lain untuk mengajarinya, baik dengan menyekolahkannya atau memberikan kursus-kursus.
Ilmu yang bermanfaat sangat banyak sekali, meliputi ilmu agama dan ilmu duniawi.
Untuk ilmu agama –ini yang seharusnya lebih diperhatikan- orang tua memiliki kewajiban untuk mengajarkan anaknya pengetahuan-pengetahuan yang wajib diketahui oleh sang Anak. Anak harus diajarkan tiga landasan utama yang harus diketahui oleh setiap muslim.
Ketiga landasan utama itu adalah: mengenal Allah, Rasul-Nya dan agama Islam. Anak harus mengetahui hal-hal tersebut dengan dalil-dalilnya secara ringkas.
Anak juga harus mengetahui hal-hal yang diwajibkan dan diharamkan oleh Allah. Kewajiban dan keharaman yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang harus diketahui oleh setiap muslim dan orang-orang awam di negeri Islam pasti mengetahui kewajiban dan keharaman tersebut, seperti: wajibnya shalat, zakat, puasa dan lain-lain serta haramnya zina, minum-minuman keras, mencuri dll.
Anak juga harus dibiasakan untuk berbahasa arab, karena bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an, as-sunnah dan agama Islam. Orang tua harus menanamkan rasa cinta kepada bahasa Arab melebihi bahasa-bahasa selainnya.
Untuk ilmu dunia, orang tua memiliki kewajiban untuk mengajarkan anaknya pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya wajib diketahui dan sangat dibutuhkan di lingkungan di mana dia berada, seperti: ilmu baca-tulis, berhitung, dll, sehingga dia tidak bisa dibodohi dan dipermainkan oleh orang lain.
12. MENGAJARKANNYA UNTUK BERAMAL SOLEH, BERADAB DAN BERAKHLAK MULIA
Orang tua wajib mengajarkan kepada anaknya bagaimana beramal soleh, beradab dan berakhlak mulia. Selain dengan perkataan, orang tua harus mengajarkannya dengan memperaktekkannya pada diri orang tua sendiri. Dengan demikian sang Anak bisa meniru tingkah laku kedua orang tuanya.
Pengajaran dengan memperlihatkan peraktek langsung lebih berpengaruh daripada hanya sekedar dengan perkataan. Tidak mungkin seorang bapak ingin mengajarkan kepada anaknya shalat berjamaah di masjid, tapi ternyata bapaknya sendiri tidak shalat di masjid. Banyak sekali para koruptor yang ketika ditanya tentang alasan mengapa dia melakukan korupsi, mereka menjawab, “Saya tahu perbuatan ini salah. Akan tetapi, lingkungan keluarga saya menganggap mencuri adalah hal yang biasa, sehingga saya juga menganggapnya sebagai hal yang biasa.”
13. MEMBERIKAN HUKUMAN KEPADANYA DENGAN HUKUMAN YANG DIBENARKAN OLEH SYARIAT KETIKA DIA MENINGGALKAN KEWAJIBAN ATAU MENGERJAKAN DOSA ATAU MAKSIAT
Orang tua wajib melakukan hal ini. Memberikan hukuman telah diajarkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَ شْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ))
Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun. Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat ketika umur mereka sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.”[3]
Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman yang tidak membekas di kulit dan bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang ketika memukul anaknya. mereka memukul anaknya sampai berbekas di kulit, bahkan ada yang memukul anaknya sampai cacat.
Sebagian orang menyangka bahwa sang anak tidak boleh dihukum dan harus dibebaskan untuk melakukan segala yang dikehendakinya, dengan alasan hukuman dapat menghambat perkembangan mental sang Anak. Anggapan itu salah dan tidak sesuai dengan syariat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada orang tua untuk memukul anaknya jika dia meninggalkan kewajiban atau mengerjakan dosa.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak yang tidak pernah dihukum oleh orang tuanya karena suatu dosa, maka kebanyakan dari mereka memiliki sikap berani kepada orang tuanya dan tidak menurut. Maukah Anda didurhakai oleh anak Anda di masa nanti?
Akan tetapi yang perlu menjadi catatan, setiap anak memiliki kebebasan untuk bermain dan bersikap. Tidak sepantasnya orang tua selalu menghukum, mencaci dan melarang anaknya pada hal-hal yang tidak sampai jatuh kepada perbuatan yang diharamkan. Pada kondisi ini orang tua cukup memberikan nasihat. Ini ditujukan agar sang anak bisa menjadi kreatif dan tidak terhambat perkembangan mentalnya.
14. MEMBERINYA WAKTU UNTUK BERMAIN DENGAN TETAP MENGONTROL JENIS PERMAINANNYA, TEMPAT BERMAINNYA DAN DENGAN SIAPA SAJA DIA BERMAIN
Anak pun punya hak untuk bermain. Orang tua sudah sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk “memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai datang waktu ‘isya’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ أَوْ قَالَ جُنْحُ اللَّيْلِ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنْ الْعِشَاءِ فَخَلُّوهُمْ ))
Artinya: “Jika malam atau awal malam datang maka ‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu. Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.”[4]
Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada saat itu.
Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa, seperti: adu kelereng dan kartu (yang mengandung unsur perjudian), memanah ayam atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran.
Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan bermain. Anak-anak sangat mudah menerima rangsangan orang-orang di sekitarnya.
Syaikh ‘Abdulmuhsin Al-Qasim[5] berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan siapa dia bergaul (berinteraksi). Manusia bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(الْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ)
Artinya : “Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala unta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing”[6]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa, di dalam pengembalaan unta terdapat kesombongan dan keangkuhan serta di dalam pengembalaan kambing terdapat ketenangan. Jika dengan hewan saja, yang dia itu tidak punya akal dan Anda tidak tahu apa maksud dari suaranya, manusia bisa terpengaruh …maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda kepada hawa nafsunya serta menghiasi Anda dengan syahwat? Bukankan dia itu lebih berpengaruh?”[7]
Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan teman bergaul anaknya. Dengan mengajaknya bergaul dan berkumpul dengan orang yang lebih dewasa dan soleh, maka ini akan sangat membantunya untuk cepat berpikir dewasa dan menjadi anak yang soleh.
15. MEMBERIKAN RASA AMAN DAN MENJAUHKAN DARI HAL-HAL YANG MENAKUTKANNYA ATAU HAL-HAL YANG MERUSAK AGAMANYA
Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya, menjaganya dari berbagai gangguan dan memberikannya rasa aman. Orang tua juga harus terus memantau keadaan anaknya dan mencarinya jika dia hilang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu ketika dia hilang di pasar Bani Qainuqa’ dan berkata, “Dimana Laka’? Panggilkan Laka’[8]?”[9]
Orang tua juga tidak boleh menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang bisa merusak mental dan agamanya, seperti mengancamnya dengan pisau atau perkataan kasar dan mengatakan kepadanya ketika malam datang, “Awas hantu?”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا)
Artinya: “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim (yang lain).”[10]
Perkataan “Awas hantu?” ternyata dapat menumbuhkan rasa takut yang berlebih terhadap sesuatu yang tidak jelas. Jenis takut yang seperti ini dilarang dalam agama.
16. MENGHARGAI DAN MENGHORMATINYA SEBAGAI SEORANG MANUSIA DAN TIDAK MEMBERIKAN JULUKAN-JULUKAN YANG JELEK KEPADANYA
Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴾ [الإسراء :233]
Artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)
17. MEMPERHATIKAN PERKEMBANGAN MENTAL-SPRITUALNYA, MELATIH DAN MENGARAHKANNYA KEPADA APA YANG COCOK UNTUKNYA KELAK
Orang tua wajib memperhatikan perkembangan mental-spritual sang anak. Sang Anak harus terus diawasi, jangan sampai dia terjerumus ke hal-hak yang merusak moral dan dirinya.
Dengan berjalannya waktu, pikiran anak akan semakin berkembang dan semakin banyak yang ingin diketahuinya. Merupakan kewajiban orang tua menjelaskan kepada sang anak sesuai kapasitas ilmu yang mereka miliki dan tahapan hidup yang mereka jalani.
Terkadang anak yang berumur 5-6 tahun sudah mulai bertanya terutama kepada sang Ibu, “Ummi darimana saya dilahirkan?” maka jawabannya, “Dari perut?”. Akan tetapi untuk anak yang sudah berumur mendekati usia baligh, maka jawabannya tentu tidak bisa seperti itu. Oleh karena itu, sangat penting mengetahui bagaimana jawaban yang cocok untuk di setiap tahapan kehidupan sang anak.
Anak-anak memiliki potensi diri yang berbeda antara satu dengan yang lain. Di antara mereka ada yang memiliki kecondongan terhadap ilmu, ada juga yang memiliki kecondongan untuk aktif bekerja, berdagang atau terampil pada suatu bidang keterampilan, ada juga yang memiliki kecondongan untuk menjadi penegak hukum, penjaga keamanan dan semisalnya dan ada juga yang memiliki kecondongan yang lain.
Anak yang mudah menghapal dan baik pemahamannya, maka sebaiknya diarahkan untuk belajar ilmu agama, karena ini adalah sebaik-baiknya bentuk pendidikan terhadap anak. Akan tetapi, jika tidak demikian maka tidak sepantasnya orang tuanya memaksanya untuk belajar ilmu agama, karena ini tidak sesuai dengan potensi diri yang Allah telah berikan kepadanya. Jika anak dipaksa untuk menekuni sesuatu yang tidak dia senangi maka hasilnya tidak akan bisa maksimal.
Yang perlu penulis ingatkan, ketika orang tua mengarahkan sang Anak ke hal-hal yang sesuai untuk mengembangkan potensi diri yang dia miliki, jangan sampai dia mengarahkannya kepada sesuatu yang untuk memperolehnya harus melanggar hukum-hukum Allah atau terjatuh ke dalam kemaksiatan. [11]
18. BERLAKU ADIL TERHADAP SEMUA ANAK-ANAK
Orang tua wajib berlaku adil terhadap semua anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar, “Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya) berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah, sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, “Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.[12]
19. MELATIHNYA UNTUK RAJIN DAN TIDAK MALAS
Anak juga memiliki hak untuk dididik agar rajin dan tidak malas. Mendidik anak untuk itu harus dilakukan sejak dia kecil. Yang pertama kali dilakukan oleh orang tua adalah mengajarkan anak cara beribadah. Sebagai contoh adalah ibadah shalat.
Dari kecil, sang Ibu membiasakan anaknya untuk shalat di sampingnya, sehingga sang anak dapat mempelajari gerakan-gerakan shalat dan mengetahui waktu-waktunya. Jika telah menjadi kebiasaan maka nantinya sangat mudah untuk mengingatkan sang anak untuk shalat.
Ketika sudah mencapai umur tujuh tahun, anak laki-laki harus dibiasakan untuk shalat lima waktu di masjid, sehingga nantinya ketika dia balig maka sudah menjadi kebiasaannya untuk shalat di masjid. Jika anak belum mencapai umur tujuh tahun maka tidak mengapa dibawa ke masjid dengan syarat dia tidak mengganggu orang-orang, tidak membuat kotor dan dapat menjaga kehormatan masjid.
Anak juga harus dibiasakan untuk bangun malam untuk shalat malam atau menanti waktu subuh. Jika terbiasa di waktu kecil, maka akan sangat mudah dilakukan di waktu besarnya nanti.
Selain ibadah, sang anak juga harus dididik untuk bisa memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan kegiatan yang positif. Jangan sampai dia melalaikannya dengan bermalas-malasan atau mengisinya dengan bermain yang tidak mendidik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَ ثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ ))
Artinya: “Ada dua kenikmatan yang banyak orang merugi di dalamnya, yaitu: kesehatan dan waktu luang.”[13]
Ibnul-Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya kemalasan dan tidak ada kerjaan memiliki akibat-akibat yang jelek dan penyesalan. Sebaliknya kerja keras dan kelelahan memiliki akibat-akibat yang terpuji, baik di dunia, di akhirat atau di dunia dan akhirat. Orang yang paling santai adalah orang yang paling lelah nantinya. Sedangkan orang yang paling lelah adalah orang yang paling santai nantinya. Kebahagiaan di dunia dan akhirat tidak bisa dicapai kecuali dengan ‘jembatan’ kelelahan.”[14] ……BERSAMBUNG
[4] HR Abu Dawud no. 2837, At-Tirmidzi no. 1522 dan Ibnu Majah no. 3165, di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Abi Dawud no. 2527-2528, Irwa’ul-ghalil no. 1165 dan Al-Misykahno. 4153.
[1] HR Abu Dawud no.1692, di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Abi Dawud no. 1485
[2] HR Muslim no. 2310
[3] HR Abu Dawud no. 495, di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Abi Dawud no. 509
[4] HR Al-Bukhari no. 3280 dan Muslim no. 5250
[5] Beliau adalah imam di Masjid Nabawi dan hakim di Mahkamah Syariah di Madinah.
[6] HR Al-Bukhari no. 3499 dan Muslim no. 187
[7] Khuthuwat ila As-Sa’adah hal. 141
[8] (لكاع) Laka’ : panggilan untuk hasan bin ‘Ali yang berarti anak yang kecil yang kurus.
[9] HR Al-Bukhari no. 5434.
[10] HR Abu Dawud no. 5004, di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Ghayatul-Maram no. 447.
[11] Lihat Tuhfatul-Maudud milik Ibnul-Qayyim hal. 243-244. Penerbit Maktabah Daril-bayan: Bairut
[12] HR Al-Bukhari no. 2587 dan Muslim no. 4185. Lafaz hadis ini miliki Al-Bukhari.
[13] HR Al-Bukhari no. 6412
[14] Tuhfatul-Maudud milik Ibnul-Qayyim hal. 241, Penerbit Maktabah Daril-bayan: Bairut.
Sumber : Ebook Hak-hak Anak Dalam Islam oleh Ust. Abu Ahmad Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A.