أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26)
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26).
Ayat di atas memberikan perumpamaan kalimah thayyibah (kalimat yang baik) dengan sebuah pohon yang kokoh, akarnya menghujam ke dalam, dan cabangnya menjulur ke langit. Dan Pohon itu akan berbuah pada setiap musim dengan izin Allah SWT. Kalimat yang baik itu adalah kalimat tauhid, lailaha illallah muhammad rasulullah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk bisa merasakan lezatnya tauhid itu? Untuk mengetahuinya, kita memerlukan wasail (sarana) agar meraih kelezatannya. Di antara sarana itu adalah penglihatan, pendengaran, hati, dan akal. Ke empat elemen itu telah Allah SWT berikan kepada manusia, baik yang Muslim maupun non Muslim.
Namun, keempat elemen itu masih belum cukup untuk menikmati lezatnya buah tauhid. Masih ada satu wasail lagi yang tidak dimiliki oleh semua pemeluk agama di dunia ini. Wasail itu adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dalam bentuk Al Qur’an dan Sunnah. Dan wasail itu hanya bisa dimiliki oleh umat Islam saja, tidak oleh pemeluk agama lain. Selain umat Islam maka hanya memiliki empat perangkat itu saja, siapapun dia. Mereka tidak akan mendapat perangkat wahyu itu kecuali mereka mau masuk Islam. Maka, dengan adanya kelima wasail itu, lengkaplah sudah semua wasa’il itu, yakni, penglihatan (bashar), pendengaran (sam’a), hati (fu’ad), akal (aql), dan wahyu dari Allah SWT dalam bentuk Al-Qur’an dan Sunnah.
Secara akal, seluruh pemeluk agama sepakat bahwa ada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun pertanyannya, siapa nama Tuhannya itu? Bagaimana sifat-sifat ketuhanannya? Di sinilah letak perbedaannya antara Muslim dan non Muslim. Tuhan umat Islam adalah Allah SWT yang disebutkan langsung dalam Al-Qur’an.
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.)
Umat Islam diajarkan oleh Al Qur’an tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Jika kita tidak mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah, lalu bagaimana cara kita tunduk dan mengabdi kepadaNya. Allah SWT menyebutkan sifat-sifatNya dalam banyak ayatNya:
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al Ikhlas: 1-4)
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255)
Kalau diserahkan pada akal saja manusia akan bingung, seperti yang terjadi pada umat non Muslim. Misal dalam agama Yahudi ada berbagai macam nama Tuhan mereka, seperti Ellohim, Yahweh, dan lainnya. Demikian pula agama-agama lainnya yang memiliki banyak Tuhan dan Dewa-Dewi yang beraneka macam namanya. Sampai saat ini juga masih menjadi polemik bahwa Tuhan mereka satu atau tiga, satu dalam tiga atau tiga dalam satu? Ada juga yang memiliki sepuluh Tuhan atau seratus. Bahkan dalam catatan sejarah, Tuhan berhala kaum musyrikin Arab jumlahnya hingga tiga ratus buah. Masing-masing Tuhan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Padahal dulu nenek moyang mereka bertauhid kepada Allah SWT.
Perbedaan lainnya adalah dalam hal amal ketaatan kepada Tuhan. Dalam Islam, amal ketaatan harus merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, bukan dengan akal. Dia dituntun secara jelas tata caranya, seperti waktunya, tempatnya, syaratnya, dan lainnya. Sementara umat agama lain melakukan ketaatan menurut akalnya, seperti beribadah menghadap matahari, bersemedi di goa, berdiam diri, mengheningkan cipta, menyembah patung, dan lainnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Dengan demikian, jika kita pelajari dan pahami nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam Al Qur’an dan hadits Nabi SAW, maka kita akan merasakan lezatnya tauhid. Dan semakin kita mendalami tauhid maka akan semakin merasakan lezatnya pengabdian kepada Allah SWT. Kita juga bisa merasakan lezatnya bermunajat (meminta) kepadaNya. Mungkin kita akan merasa malu jika meminta-minta kepada sesama makhluk, namun tidak dengan permintaan kepada Allah SWT. Jika kita mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, maka pasti akan merasakan lezatnya meminta kepada Allah SWT. Bukankah shalat adalah do’a, dan bukankah do’a adalah meminta-minta kepada Allah SWT.
Kita juga akan merasakan lezatnya takut kepada Allah SWT. Jika kita takut kepada Allah mungkin kita akan lari, tapi takut kepadaNya sangat lezat. Semakin takut maka kita semakin dekat denganNya. Selain itu ada kelezatan cinta, kelezatan berharap serta kelezatan-kelezatan lainnya. Itulah lezatnya buah tauhid. Semakin merasakan kelezatannya, maka kita akan semakin mengenal Allah SWT. Semakin mengenal maka kita akan semakin cinta. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh : Ust. Abdul Wahid Ali Lc, MA - Waketum Dewan Da'wah Sumber : dewandakwah.or.id