IBADAH HAJI DAN NILAI-NILAI PENGORBANAN

Blogdakwah.com, Alhamdulillah sebentar lagi kita umat Islam merayakan Idul adha, Hari Raya Haji. Disebut juga hari Idul Qurban. Seluruh umat Islam, laki-laki dan perempuan, yang didalam tubuhnya mengalir darah Iman dan Tauhid, pada hari ini bersama-sama keluar mengumandangkan kalimat Takbir, Tahmid dan Kalimah Tauhid, membesarkan Allah, memuja dan memujiNya serta mentauhidkanNya. Itulah syiar agama Islam, Agama Allah di muka bumi ini.
 "Demikianlah, dan barangsiapa yang membesarkan syiar agama Allah ini, itulah suatu pertanda dari hati yang bertaqwa (Q.S. Al Haj : 32)

Marilah kita tenang sejenak, merenungkan kandungan Hari Raya Haji ini. Karena sesungguhnya Hari Raya Haji yang disebut juga Hari Raya Kurban ini membawa kita kepada suatu kenangan yang sangat mengerikan. Tetapi melukiskan lembaran sejarah yangterindah dari kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as pada masa ribuan tahun yang silam. Suatu lukisan sejarah yang tidak dapat dilupakan oleh seluruh umat Islam.

Tatkala Nabi Ibrahim As sudah mencapai usianya yang tinggi, umurnya yang sudah lanjut. Badannya dirasakannya sudah semakin lemah. Maka ia merasa resah gelisah. Karena tidak mempunyai keturunan, walau seorang jua.

Andaikata ia meninggal dunia, siapakah kelak, dikemudian hari, yang akan melanjutkan perjuangannya, menegakkan kebenaran, meninggikan kalimat Allah di permukaan bumi ini ? Akhirnya Ibrahim berkesimpulan, tiadalah suatu daya upaya yang menentukan, kecuali kembali kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Lalu Nabi Ibrahim memohon kepada Allah SWT.
"Dan ia (Ibrahim) berkata Sesungguhnya aku menyerah (memohon) kepada Tuhanku. Anugerahkanlah kepadaku keturunan, dari golongan orang yang baik-baik. (Q.S. As Shaffat : 99)
Allah mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim dengan memberi karunia seorang putra bernama Ismail. Lalu Allah berfirman :
“Kami gembirakan Ibrahim dengan meng-anugerahinya
seorang anak laki-laki yang beradab dan berbudi tinggi, mempunyai sopan santun yanghalus."
Demikianlah Nabi Ibrahim, dengan pikirannya yang jernih, dengan cita-citanya yang luhur, dan pandangannya yang jauh kedepan. Tiadalah dapat digambarkan betapa gembiranya Nabi Ibrahim saat itu. Dan betapa kasihnya dia kepada anaknya Ismail, satu-satunya itu. Namun tiadalah ia memanjakan anaknya itu. Dididiknya dengan baik, diasuhnya dengan sempurna, karena ia mengharapkan mendapatkan anak yang baik.

Ujian Besar Untuk Ibrahim A.S
Ismail tumbuh dan berkembang menjadi remaja, dengan cepat menjadi anak yang berbudi tinggi, berahlak mulia. Semakin tercurahlah kasih sayang Ibrahim kepada anaknya itu. Lalu Allah hendak menguji Nabi Ibrahim ;"Manakah kasih sayang yang lebih utama didalam hati Ibrahim, apakah kepada Allah atau kepada anaknya Ismail itu?

Maka Allah menurunkan firmanNya, memerintahkan kepada Nabi Ibrahim, supaya menyembelih anaknya Ismail. Firman Allah itu menimbulkan gelombang dahsyat, menggoncangkan dada Nabi Ibrahim As. Yaitu suatu gelora perjuangan antara Iman dan Nafsu. Imannya menuntut ketaatan kepada perintah Allah. Dan nafsunya mendesak untuk menyelamatkan Ismail. Satu-satunya anak kandung tempat kasih tumpuan sayang, menjadi idaman selama ini, sekarang harus dikorbankan pula.
Nabi Ibrahim benar-benar menghadapi ujian yang sangat berat. Apakah ia bersedia mendurhakai perintah Tuhannya karena hendak mengikuti kehendak hawa nafsunya, karena kasih sayang kepada anak satu-satunya itu ?

Memang sebenarnya perjuangan yang teramat berat itu, ialah perjuangan menaklukan hawa nafsu sendiri. Berapa banyaknya pahlawan-pahlawan yang kembali membawa kemenangan dimedan perang, tetapi kemudian menyerah kalah, bertekuk lutut dibawah perintah nafsunya sendiri, berapa banyaknya pemimpin-pemimpin yang berhasil menawan hati masyarakat bagai singa diatas podium, tetapi dibelakang podium dia sendiri tidak mampu memimpin dirinya, meloloskan diri dari kepungan nafsunya sendiri. Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
“Orang yang cerdas adalah orang yang bisa menundukkan hawa nafsunya dan mempersiapkan diri untuk sesudah mati. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majjah, Hadits Hasan)/ bersambung *** Penulis Oleh : H. Amlir Syaifa Yasin, MA Sekretaris Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia 
Previous Post Next Post