Kaum sekuler – meskipun secara formal memeluk agama tertentu — memandang, hidup di dunia ini hanya memiliki aspek di sini (di dunia saja). Tidak ada urusan dengan Tuhan, dan tidak ada urusan dengan akhirat. Pada CAP yang lalu, kita sudah mengutip pandangan Prof. Naquib al-Attas dalam buku klasiknya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978). Prof. al-Attas menyebut tiga komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1)disenchantment of nature (pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan).
Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City,menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).
Kita garisbawahi pandangan Prof. al-Attas, bahwa salah satu proses sekulerisasi adalah “desakralisasi politik”. Politik dibebaskan dari Tuhan; politik bebas dari agama. Politik hanya dilihat sebagai seni meraih kuasa atau mempertahankan kekuasaan. Politisi dianggap hebat adalah yang berkuasa. Politisi yang dianggap tidak bermutu adalah yang gagal meraih kuasa. Meskipun dia jujur. Yang menang dianggap benar. Kekuasaan adalah kebenaran, might is right. Kaum sekuler biasa berkampanye: “agama jangan dibawa-bawa dalam urusan politik atau kenegaraan.”
Mungkinkah orang Muslim atau orang Kristen pada saat yang sama juga menjadi orang sekuler? Ulama terkenal, ketua MUI Pertama, Prof. Hamka, menolak kemungkinan itu.
Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.
Menurut Hamka, Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya dengan agamanya.
Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen saat itu:
“Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet”…. “Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen.”
Seorang Kristen yang setia pada kepercayaannya, dia akan berjuang menegakkan nilai-nilai agama yang diyakininya. Ia akan memuja Yesus sebagai Tuhannya. Sebuah buku berjudul “Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus” (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di Indonesia tersebut.
Kaum Kristen Indonesia, kata buku ini, tidak ingin menyia-nyaiakan lagi kesempatan yang pernah mereka dapatkan untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka siap melakukan transformasi Indonesia. Kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana pernah terjadi di masa Soeharto:”Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius, Mooy, Sumarlin) di bidang ekonomi beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa dua kelompok (Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang ada.” (hal. 45).
Dr. Bambang Widjaja, Gembala Sidang Gereja Kristen Perjanjian Baru, dalam tulisannya berjudul ”Indonesia Siap Mengalami Transformasi” yang dimuat dalam buku ini, menegaskan: ”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”
Kaum Muslim memandang, kekuasaan dan kepemimpinan punya makna yang fungsi duniawi dan ukhrawi, aspek fisik dan metafisik. Pemimpin, dalam Islam, dipandang sebagai “junnatun” (perisai). Sesuai tujuan dari maqashid-asy-syariah, tugas utama pemimpin dalam Islam adalah hifdzud-din (menjaga agama). Sebab, bagi Muslim, agama-lah yang terpenting dalam hidup. Iman akan dibawa sampai mati. Keselamatan iman adalah yang paling utama dalam kehidupan. Karena itu, perlu dipahami, jika para pemikir Muslim senantiasa menempatkan urusan agama sebagai faktor terpenting. Inilah yang tidak mudah dipahami oleh kaum sekuler yang menganggap agama sebagai urusan pribadi yang tidak penting. Sebab, bagi mereka, tauhid dan syirik dipandang sama; iman dan kufur tidak berbeda. Padahal, dalam Islam, syirik adalah dosa terbesar, karena merupakan kejahatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (QS 31:13).
Konsep Islam tentang kepemimpinan inilah yang perlu dipahami, agar tidak mudah menuduh kaum Muslim berpikiran picik dan tidak toleran. Setiap agama dan peradaban memiliki batas-batas toleransi yang berbeda, bergantung pada masalah yang mereka anggap penting. Ketika keimanan dipandang penting, maka iman akan dijadikan sebagai faktor penilai seseorang. Ketika faktor ras dianggap benilai tinggi, maka bangsa itu akan mementingkan faktor rasial. Mereka akan memandang rendah bangsa atau ras lain.
Konsep Islam soal kepemimpinan ini perlu disampaikan secara terbuka, bukan untuk memecah belah bangsa. Umat Islam merindukan pemimpin yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Para pendiri dan pemimpin bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara terbuka jauh sebelum kemerdekaan. Perdebatan mereka terekam dengan baik dalam catatan-catatan sejarah. Kejujuran berpikir diperlukan untuk membagun toleransi. Dalam kondisi apa pun, umat Islam senantiasa mencintai bangsanya, dan ingin agar bangsanya menjadi negeri yang beradab, adil, dan makmur, sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945./Jakarta, 26 September 2014.*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM danhidayatullah.com